Sunday, 23 December 2012

Pecundang dalam cerita



Tommy, nama yang pasaran dan terkesan antagonis. Tapi dalam cerita ini akulah peran utamanya. Laki-laki yang mereka fikir berhati malaikat kuletakan dalam kategori musuh. Kau tahu kan berarti mereka adalah si antagonis sebenarnya. Dalam cerita kecilku ini.
Tommy bukan siapa-siapa, tanpa wanita tentunya. Tommy dilahirkan oleh ibu yang cantik dan keren. Aku sangat memuja ibu ku itu, dia mantan vokalis grup khasidah sewaktu SMP, tapi rupanya gurunya salah menilai ibuku, di saat yang lain, ibu tampil di acara pensi sekolah sebagai gitaris band rock. Wooww. Siapa perduli dengan biografi ibuku.
Oke kembali lagi, wanita adalah segalanya bagiku. Aku dikenal sebagai playboy ulung, sangat berbahaya bagi wanita. Selain pada ibuku, aku sangat jinak oleh seorang wanita. Dia tidak cantik atau terlalu jelek. Dia bukan wanita yang jenius, juga tidak lemah lembut.  Terkadang aku tidak percaya dia terlahir sebagai wanita. Satu-satunya yang membuat ku percaya adalah, aku menyukainya.
Entahlah, sebenarnya aku tak pernah mengakui ini. Aku selalu berada di sampingnya
dan aku tak pernah sekalipun menyinggung hal ini padanya. Dia sangat sensitif, dia peka terhadap apapun yang dianggapnya tidak sesuai dengan ideal. Tapi satu-satunya yang membuatnya bodoh adalah dia tergila-gila oleh laki-laki bertampang boyband  di sekolah kami. Radar hatinya mungkin sudah rusak sehingga tidak menyadari sinyal-sinyal yang ku kirimkan. Ah, ironi sekali. Intinya aku hanya seorang pecundang.
Hari ini, aku tak menjumpainya di kantin. Terpaksa aku pergi ke kelasnya,
“kau tahu Lusi?” aku bertanya pada seseorang dalam kelasnya
“biasanya kan bersamamu”
Lagi-lagi perasaan cemasku muncul lagi. Aku tak pernah bisa tenang jika belum  melihat wajahnya. Sedang dimana dia. Bersama siapa. Ini berlebihan memang.
“hey Tom, ku kira istrimu sedang dalam bahaya?”
“maksudmu?”
“iya, ku lihat Lusi sedang ribut di taman depan Ipa 2”
Aku tahu ini pasti terjadi. Dia selalu bertingkah sombong, dan mengatakan apa yang ingin ia katakan pada setiap orang. Dia keras kepala. 
“hey apa yang sedang kalian lakukan?”bagai seorang pahlawan, aku menghampiri mereka yang memang terlihat sedang beradu mulut.
“Lusi, kau memang perempuan perayu! Aku tahu Tommy sudah kau perdaya kan ! dasar jalang. Ku pastikan kau tidak mendekati Aras lagi, atau kau tahu akibatnya nanti!”
“jaga bicaramu !!” Lusi tiba-tiba menampar wanita itu, yang setelah ku amati adalah Nabila.
“hey beraninya kau” bentak temannya.
Nabila tampak kesetanan, tiba-tiba wajahnya berubahseperti monster. Nabila dan temannya menjambak rambut Lusi, dan dengan tiba-tiba mendorong Lusi ke kolam ikan yang ada disitu. Tentu itu terjadi cepat sekali, sehingga aku tak bisa mengendalikannya.
“Lusi sebenarnya apa yang terjadi?” ku tanyai dia, yang basah kuyup. Masih di tempat kejadian.
“apapun itu, tak ada urusannya denganmu!”
“aku sudah bilang Aras itu bukan cowok bener. Dia banyak cewenya!”
“jangan menilai orang begitu! Lihat dirimu sendiri”
“hey berpikirlah Lusi dia tidak pantas untuk kau sukai lagi. Beberapa kali kau dikecewakan olehnya”
“sudah kubilang kau tak punya urusan”
“aku akan menghajar orang itu besok. Tak ada bedanya dia dengan bencong”
“jangan pernah sakiti dia!”
“kau memang perempuan bodoh. Apa sih yang kau lihat dari orang itu. Makin hari tingkahnya membuatku muak”
“siapa kau berani menyebutku begitu! Kau bukan guruku, kau tak berhak mengajariku. Aku tahu apa yang ku rasakan! Aku menyayanginya dan kau tak berhak melakukan apapun padanya!”
“Aku sahabatmu Lusi. Aku tidak ingin kau terperdaya  oleh dirinya”
“sahabat tidak seperti itu”
“aku janji besok dia akan meminta maaf padamu, terutama Nabila dan temannya, mereka semua akan meminta maaf padamu”
“baiklah”
“ya, tenanglah Lusi besok kau...”
“baiklah, sekarang kau bukan sahabatku”  dengan muka datar dia pergi meninggalkan ku.
“apa..apaa maksudmu? Hey aku tidak mengerti” aku mengejar Lusi. Tapi dia tak menoleh. Dia tak pernah menoleh lagi setelah hari itu.
Aku tidak bisa menghubunginya. Dia tak pernah membukakan pintu rumahnya untukku. 2 bulan sudah kami putus hubungan. Aku sungguh tertekan dengan keadaan ini.  Tapi ketika diperhatikan tak sedikitpun wajahnya menunjukan ke sedihan. Dia bahkan semakin gencar mendekati Aras. Kudengar sekarang dia berteman pula dengan Nabila. Lusi terlihat lebih cantik, sekarang dia memakai kacamata, aku tahu matanya sudah tidak beres dari 3 bulan yang lalu. Selain itu dia tampak baik-baik saja tak sedikitpun yang harus aku cemaskan. Wajahnya pun terlihat amat bahagia.
Ya aku tahu, betapa tidak pentingnya aku dan betapa berharganya Aras untuknya. Benar dugaanku selama ini kehadiranku tidak berarti apa-apa untuk Lusi. Aku memang selalu berharap dia akan menyadari sesuatu. Tapi sepertinya itu tak akan pernah terjadi.
“Lusi, apa kau mendengarku. Aku ingin berbicara padamu sebentar saja”hari itu aku berupaya keras berbicara pada  Lusi, namun ia tetap berjalan cuek.
“Lusi aku mohon sekali ini saja”
“apa??” kali ini dia menoleh. Dia bicara padaku, Ah tidak, matanya tidak mengarah padaku, dia berbicara pada orang dibelakangku. Sial, itu Aras.
“jangan lupa, nanti kita harus pergi ke toko buku, mencari buku sumber yang disarankan bu Pingkan “tentu saja, bagaimana aku bisa lupa dengan hal itu” Lusi tersenyum dengan amat manis dan cool.
“Lusi..Lusiii!!” aku tidak mau ketinggalan moment.
“heuh, mau apalagi?” akhirnya dia menanggapi
“Lusi aku ingin meminta maaf padamu.”
“itu saja?”
“tidak, sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu padamu”
“beritahu aku, apakah itu penting?”
“aku tidak tahu dan aku tidak perduli, kau anggap aku penting atau tidak. Aku hanya ingin kau mendengarkanku bicara. Kali ini saja aku mohon”
“baiklah”
Aku menghela napas. aku benar-benar mensyukuri hari ini. Tapi ada berita pahit yang harus aku sampaikan pada Lusi.
“Lusi, sebenarnya  ayah menawarkan aku dan ibu untuk pindah ke Sulawesi. Dia akan memulai bisnis barunya disana.”
“lalu?” ekspresinya sangat datar dan tak terlihat sedikit pun sikap simpati.
“lalu aku ingin kau memberi alasan agar aku tetap berada disini” aku tak tahu betapa jelek ekspresi mukaku, saat sedang memelas seperti ini.
“aku tak memiliki alasan”
Aku tak percaya, Lusi menjawab secepat itu.  Yang paling ku takpercaya dia berubah secepat ini. Dia seperti bukan Lusi yang ku kenal. Dia benar-benar orang lain. Dia lupa kenangan masa kecil kami, ketika hujan-hujanan dan dimarahi oleh ibunya. Dia lupa ketika aku membelikan pembalut, ketika Lusi pertama kali menstruasi di sekolah, dia lupa saat aku membantunya mencari uang pengganti dana Kas yang ia hilangkan. Dia lupa aku membangun rumah pohon di belakang rumahnya, dia lupa canda tawa yang telah kita lalui berdua. Dia benar-benar melupakan semuanya, atau bahkan dia tak pernah mengingat itu.
Tak ada satu katapun yang ingin aku katakan lagi padanya. Aku berbalik, dan berjalan cepat meninggalkannya. Terdengar samar, dia mengatakan “hati-hati” tapi entahlah, aku tak yakin dia memiliki hati untuk mengatakan itu.
Sekarang aku berada di kapal laut. Beberapa menit lagi aku akan sampai dipelabuhan. Menyedihkan memang, 10 tahun aku menyimpan perasaan terhadap Lusi, tapi tak semenit pun aku berani meyampaikannya. Aku tak menyesal tak pernah nyatakan cinta padanya. Karena sebelum dia mengetahui apa yang kurasakan dulu, mungkin aku sudah berhasil melupakannya.



0 komentar:

Post a Comment